Jumat, 10 April 2020

Bangun

"Hai bro... Gabut banget nih! " Pernah gue lantaran kalimat tu ke sahabat gue. Namanya Satia, cocok banget tuh nama dengan sikapnya selama menjadi sahabat gue. (Mirip kata SETIA) 

Gimana gak Setia coba? Setiap gue punya masalah dia yang dengerin omelan gue, dia yang nepuk-nepuk punggung gue, kadang dia juga ikutan nangis kalo gue cerita sedih, kadang ikut ngakak sampe mukul-mukul gue kalo cerita lucu, bahkan pernah juga nemenin g gue makan walau cuma di warung nasi pinggir jalan, CUMA NEMENIN DOANG loh yaaa. 

Eits... Setianya bukan hal sepele lo bro,  mungkin dalam hati lo gumam, "gue juga bisa gitu, biasa aja kali" Upss bukan bro... Kalo bisa bro, gue pengen bawa dia ke surga Allah kalo mati kelak bro. Semoga aamiin. 

Dia ajarin gue berhijab, bukan cuma ngajarin bro! Dia contohin dengan hidup dia setiap hari, dan gue lakuin beb, wuihhhh nyaman banget bro ketika gue ngerti hidup ini gak cuma persiapan untuk bahagia dunia aja. 

Akhirnya gua bisa hijrah dari masa lalu gabut, jelek, hitam gelap. Gue ambil pelajaran  dari semuanya. Masalalu yg tau hanya orang masalalu lah. 
Big thanks udah ajak gue hijrah.  My Best Friend @Satia

Senin, 18 Maret 2019

Nafasku



Berderai air mata haru,bimbang sekaligus  bahagia, berpura-pura tegar di hadapan sang istri yang sedang berusaha menahan rasa takut dan sedih. “Mas, Mbaknya harus dioprasi. Kami sudah berusaha agar istri mas melahirkan secara normal, sudah kami suntik perangsang dua, tapi dari tadi baru buka satu, jika ditunggu sampai buka sepuluh, kami khawatir bayi yang dikandung tidak bisa diselamatkan, karena detak jantungnya semakin rendah.” Itulah pembicaraan yang ku dengar. Sembari terbaring merasa takut, dokter menyuruhku  dan suami untuk berdiskusi dengan waktu yang singkat. 



“Ayang, dengar kata dokter kan? Ayang harus dioprasi demi dede. Jangan egois Ay! Mas tau ayang bisa lahiran normal, tapi inget Ay, dede juga harus diselamatkan” sambil memegang tanganku lalu diam sejenak dan mencium keningku seraya berbisik “Ayang pasti kuat, semangat Ayang!” kata-kata yang selalu ia bisikkan sejak aku hamil trimester pertama sampai saat ini. Matanya berkaca-kaca, aku pun demikian, ia mengusap air mataku menunggu persetujuanku. Aku pun mengangguk, sosok laki-laki hebat yang selalu ada buatku dengan singgap memanggil dokter dan menandatangani surat persetujuan kalau aku harus dioprasi, disusul dengan tanda tanganku.
Setelah penandatanganan surat persetujuan, suamiku keluar dari ruangan. Aku tidak tau apa yang dilakukan suamiku dan mama mertuaku selama aku ada di ruang UGD. Satu yang pasti, mereka menunggu proses oprasi yang rencananya akan dilakukan pukul sepuluh malam nanti. Di ruang UGD itu, tidak ada yang mengajakku berbicara, walau pun aku berusaha memanggil suster yang berada di situ, tapi mereka tetap sibuk dengan tugas mereka masing-masing dan mengabaikanku (merasa dicuekin).
Setelah dipasang alat pembantu pembuag urine, masuk seorang pasien yang sudah waktunya melahirkan, ternyata beliau harus dioprasi juga karena posisi bayi yang melintang. Padahal sudah bukaan penuh dan berusaha mengejan, tetiba dimarah oleh seorang bidan karena hasil USG jelas bayi yang dikandungnya dalam posisi melintang dan berbahaya jika dilahirkan secara normal. Sungguh malang nasib beliau, jika saja suaminya ada di sampingnya, pasti sakit yang dirasa akan berkurang. Ketika adzan magrib berkumandang, semua tim dokter bergegas melaksanakan sholat, satu persatu berganti pakaian lalu mendekatiku. “Vitalistres 1, kita utamakan!”
Sampai di ruang oprasi, aku semakin tegang dan takut. Ku kira suamiku akan mendampingiku sampai proses oprasi selesai, ternyata suamiku pun tidak tahu kalau oprasi dipercepat setelah waktu maghrib. “Bu jangan tegang ya, tidak terasa kok. Kalau ibu tegang ketahuan lo.” Aku hanya mengangguk walaupun sebenarnya tetap tegang dan takut. Tut tut tut berulang kali alat berbunyi yang menandakan aku takut dan tegang. Alat pendeteksi tegang yang terpasang ditanganku pun mulai mengencang.
Berulangkali aku merasa tegang, akhirnya seorang dokter yang ahli anatesi duduk di sebelah kananku mengajakku ngobrol seraya membetulkan posisi jarum impus ditanganku. “Bu, udah tau belom jenis kelamin anak ibu? Siapa namanya nanti bu?” aku mulai santai dan menjawab semua pertanyannya. Operasi akan segera dimulai, aku disuruh duduk memeluk bantal dan agak condong kea rah depan. “ibu, jangan tegang dan jangan terkejut ya, kita suntik bius di tulang punggung ibu.” Aku mulai takut dan tegang lagi, suntikan pertama berjalan baik, suntikan ke dua tubuhku semakin tegang “Bu, jangan tegang ya.. ini jarumnya terjepit Bu… rileks Bu, ambil nafas yang dalam dan hebuskan lewat mulut. Iya ibu hebat, sering ikut senam hamil dan relaksasi ya sama bidannya?”
Operasi segera di mulai, sebelum itu aku ditanya identitas lalu badan bagian pinggul dicubit bebarengan dengan bagian pundak. “Mana yang sakit Bu? Bagian atas atau bawah?” tentusaja bagian atas kan. Aku disuruh mengangkat kaki, namun kakiku terasa berat dan rasa kesemutan. Kucoba sampai tiga kali, aku benar-benar tidak bisa mengangkat kakiku. “Baca doa Bu, kita mulai operasinya, gak sakit kok Bu.” Memang tidak terasa sakit, tapi rasa was-was dan tegang terus dating. Tut tut tut, lagi dan lagi alat yang terpasang di tangan bagian lengan mengencang tanda aku tegang. Sayatan demi sayatan aku rasakan, hanya saja tidak terasa sakit.

“Pak, kenapa dingin sekali Pak?” tanyaku sambil menggigil menahan rasa dingin luarrr biasa. Tubuhku bergetar, gigiku berhantuk mengeluarkan bunyi gemelutuk. “Eh…. Ini AC kita matikan loh Bu, masa dingin sich?” terus berusaha melawan rasa dingin, obrolan konyol yang kudengar saat dioprasi pun semakin jelas, ada yang pesan makan ayam geprek, pokoknya pembicaraan konyol yang tak perlu dipahami karena maknanya hanya mereka yang tahu. “Eh, Ibu alergi obat ya?” aku hanya menjawab tidak, karena setahu aku, aku memang alergi dingin sehingga badanku bentol-bentol.
“Maaf Bu, kita tekan untuk mengeluarkan dedenya ya.” Sungguh terasa dorongan dan tarikan yang dilakukan oleh tim dokter untuk menyelamatkan anakku, aku pun mendengar tangisannya. “Alhamdulillah…. Operasi selesai pukul 19.20 WIB.” Aku tidak diberi kesempatan melihat bayiku, bayiku langsung dibawa oleh dokter anak yang ada disitu.
Ternyata, bayiku langsung diberikan pada suamiku. Suamiku terharu lalu mengumandangkan adzan dan iqamah di telinga anak kami. Suamiku memanggil mamaknya yang berada di ruang tunggu “Ma, anakku ma!” isaknya.  Sebenarnya mereka berdua terkejut, karena mereka tidak diberi tahu waktu operasi dilakasanakan.
Pasca operasi, saya di tempatkan pada ruangan yang sepi seorang diri. Kurasakan sensasi pusing yang luar biasa, dingin menusuk hingga tubuh terus mengigil. Ingin kupejamkan mata, tapi aku takut terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Kulihat dokter lalu lalang melewati ku. Berganti kaus tangan dan masker. Beberapa dokter, perawat dan dokter anak berlalu tanpa kuhiraukan. Makin lama makin sepi taka da seorang pun yang melewati ruangan ini. Kemudian kuberanikan diri memanggil dokter yang tadi mengoprasiku “Pak, boleh panggilkan suami saya?” dokter itu pun mengiyakan dan menyuruh seorang perawat untuk memanggil suamiku.
Suamiku masuk ruangan memakai pakaian rumah sakit warna biru. Suamiku langsung mencium keningku, kembali matanya berkaca-kaca. “Mas, rasanya dingin banget, sebenarnya badan Ndok tertutup kain apa gak Mas?” Aku belum bisa merasakan anggota tubuhku secara utuh. “Enggak Ay, biar Mas tutup pakai kain ya.” Tidak lama seorang pasien diantar di sebelahku, pasien ini dari Baserah. Bernama Raismidar, berbicara aneh, ngelantur sendirian. Lalu suamiku izin keluar dan mama mertuaku menggantikannya. Kemudian bergantian lagi dengan mamakku dan bapakku yang menyusul.

Proses pindah ruangan dalam keadaan bius sudah mulai hilang, mulai terasa pedih dan mendenyut sakit, tubuhku dipindah ke tempat tidur yang lebih rendah, sampai di ruangan rawat tubuhku dipindahkan lagi ke tempat tidur yang lebih tinggi. Rasanya luar biasa sakit, aku ingin menangis tapi tangis itu kutahan mengingat anugerah dari Allah yang telah ku terima.
Setelah di ruangan rawat, ada beberapa pasien lain yang juga operasi melahirkan. Bedanya itu, mereka bisa langsung melihat anak yang baru dilahirkannya, sedangkan anakku harus dirawat dan terpisah dariku. Lagi dan lagi aku ingin menangis, tapi kulihat suamiku yang tegar dan kuat menghadapi ini, kedua orang tua ku yang terus menemaniku, membuat aku terus menahan tangis itu.
Hari demi hari berlalu, sampai pada hari ditetapkan aku pulang. Namun, kepulanganku ditunda karena anakku harus pulang keesokan harinya. Sungguh perjuangan keluarga yang luar biasa.
Sampai pada hari ke empat, anakku sudah diperbolehkan pulang. Alhamdulillah bahagianya aku, bisa melihat anak yang telah kulahirkan. “Mirip anak kang Din.” Kata mamakku. Untuk pertama kali aku memangku anakku. Ingin segera aku memberikan asi untuknya, namun keadaanku masih kotor dan belum madi wiladah. Proses pembayaran pun selesai, akan segera sampai di rumah. Terbayang ramainya orang datang ke rumah, terbayang akan terdengar pujian-pujian bahkan cemoohan orang yang datang.
Alhamdulillah, selama perjalanan pulang aku tidak mabuk perjalanan. Taulah, selama ini aku anti sekali dengn yang namanya mobil. “Ma, jangan-jangan betul kata Buk Srik, kalo abis oprasi gak mabuk lagi.” “Masa mau gak mabok ndadakan oprasi disit.” Terlihat raut bahagia suamiku, yang biasanya takut melihatku naik mobil, sekarang suamiku enjoy dan tersenyum.
Sesampainya di rumah,ternyata tetangga terdekat  banyak yang menunggu. Ya, bahkan mbah uyut anakku pun sudah menunggu. Alhamdulillah, mbah ku bisa melihat buyutnya. Selama masa pemulihan, suamiku benar-benar menjagaku. Malu rasanya, setiap hari dilayani suami, bahkan mandi sampai buang air pun suamiku mendampingi. harus bagaimana lagi menolaknya? Suami selalu berkata aku adalah tanggungjawabnya.

Pernah, suatu hari aku tak bisa menahan tangis haru di depan suamiku. Aku menangis merasa tak pantas dilayani suami, tapi ternyata suamiku berkata lain “Udah jangan nangis, nanti juga sembuh.” Ingin rasanya mengatakan aku tak mau dilayani suamiku untuk semua kegiatan, tapi aku hanya terpaku dan hanya bisa menatap wajah suamiku yang penuh kasih dan saying.
Hari-hari berlalu, mamakku menungguku, merawat anakku dengan sangat hati-hati, bahkan sampai menginap di rumahku sampai tiba waktu aqikah sekaligus pemberian nama anakku. Ya, aku hidup bersama suamiku dan ibu mertuaku yang luar biasa menyayangiku. ALULA AFSHEEN UMAIZA nama untuk anakku memiliki arti Anak perempuan pertama yang bersinar seperti bintang yang cemerlang.

Enam belas hari setelah kelahiran, BB anakku sudah 3,9 Kg. pada bulan ke 2 BB anakku sudah 6,3 kg. Alhamdulillah perkembangan yang luar biasa. Puji Syukur selalu kami ungkapkan kepada Allah, semoga Allah selalu menjaga Anak kami, menjadikannya soleha, menjadikanku ibu yang pandai membimbingnya ke surga Allah, dan menjadikanku suamiku Imam kami sampai ke surge Allah Swt., Aamiin.


Selasa, 05 Juni 2018

My New Life is Become Ny. Juari


Dear friends… entah lagi kesambet malaikat apa nih. Gue pengen banget nulis cerpen lagi. Kali ini gue bakalan buat cerpen tentang gue sendiri . ya… gue sendiri. Apa karena efek hamil muda ya? Entahlah! Ups… ketebak deh kalo bakalan cerita tentang hidup baru gue… ha ha ha ha. Cuz… simak aja yuk.

HIDUP BARUKU
Beberapa waktu lalu, kegalauan yang melanda hatiku mulai beranjak meninggalkanku dan membiarkan kesabaran memberi kebahagiaan padaku. Harus mulai dari mana aku menyukuri karunia Tuhan yang selama ini terus menghampiri hidupku. Kalau bisa rasa syukur itu berbentuk, mungkin telah kubentuk rasa syukurku seperti hati yang paliiiing besar pada Tuhan.

Ini bukan kali pertama atau kali kedua kaya lagunya Raisa. Perasaan sayang muncul untuk seseorang yang belum pernah aku temui. Meski baru beberapa hari chating lewat medsos yang namanya whats up. Bermula pada basa basi, selalu saja bahas kodok konser pada malam minggu, basa basi nanyak “malam minggu kok g diapelin?” ha ha ha…. Entah apa maksud dari pertanyaannya.

Semakin lama semakin candu, selalu nunggu chat dari si dia yang belum pernah kulihat batang hidungnya. Perasaan gundah gak karuan selalu dating, biasa hanpon asal letak dan jadi barang milik bersama teman dan keluarga, eehh semenjak chatting sama dia semua barang tersegel dan gak ada yang boleh pegang. Dulu aku terkenal dengan julukan si serius dan Si pendiam sekarang gue dibilang cewek rame yang suka bercanda hilang keseriusan.

Hem……. Waktu yang ditunggu dating juga, aku melihat wajahnya dengan jelas tanpa penghalang. “Ya Allah, rasanya aku ingin dia menjadi imamku.” Tiba-tiba aja hati kecilku bergumam, hanya saja pertemuan itu hanya pertemuan sebelah pihak. Bagaimana tidak sebelah pihak coba? Pertama kali melihatnya pada hari duka yang sedang dialami oleh keluarganya. Ayahnya meninggal tepat 2 minggu setelah aku dan dia asik chat. Pada malam itu, dia tidak mengenalku walaupun tepat berdiri di hadapanku.
Setelah ayahnya berpulang, kami tetap lanjut komunikasi. Layaknya wanita berumur yang selalu didesak orang tua untuk segera berrumah tangga , rasanya itu luar biasa ketika ada lelaki yang benar-benar menginginkanku menjadi wanitanya dan aku pun menginginkannya. Aku tidak memiliki rasa untuk menolak sedikitpun, berbeda dengan ketika beberapa laki-laki datang melamarku langsung menemui ayah dan ibuku. Aku menolak walau pun sebelumnya sudah mengatakan pasarah pada kedua orang tuaku masalah jodoh, bukan lain karena pernah gagal sebelumnya. Tapi entah kenapa, aku merasa yakin Mr. J adalah jodohku walaupun belum pernah bertemu sebelumnya.
Mr. J adalah julukan yang aku berikan untuknya, sebutan yang paling cocok ketika aku sedang bercerita pada si teteh temen curhatku. Akhirnya pertemuan pertama berlangsung dengan perasaan yang luar biasa gak karuan. Kikuk, kaku, malu, malu-maluin dan gak jelas. Syukur Mr. J orangnya rame dan mudah ngobrol dengan kedua orang tuaku.

“Mama….. Mama… baca ini bacaaaaaa!” teriakku dari kamar yang segera ingin lari ke ruang keluarga dengan semangatnya samapai tak terlihat si mama sudah di depan pintu kamar. “Apa si apa?” mama bingung melihatku yang bersikap aneh dari biasanya. “Malam ini De, ba’da isa ini? Serius? Ya gak ada persiapan apa-apa, beli kue lah sana!”  ekspresi mama yang lumayan panik dan gugup waktu tahu si anak gadis satu-satunya bakal diapelin pada malam Sabtu, alias Jumat, 10 November  2017. (kapan-kapan buat cerpen masa pendekatan deh :) ha hahha)

Pertemuan keluarga pun terjadi, sampai pada Jumat, 19 Januari 2018 malam lamaran pun terjadi. Pertemuan singkat yang sangat kusyukuri, hadiah terindah dari Tuhan setelah penderitaan yang kujalani lebih dari satu tahun menunggu yang tak pasti. Pada Sabtu 24, Februari 2018 Tuhan perjelas jodohku dan mengubah status gadisku telah menjadi istri. Bagaimana harus mengungkapkan rasa syukur ini, rasanya terlalu indah jika hanya kubalas dengan rasa syukur. Semoga ini adalah perjalanan hidup yang Tuhan Ridhoi untukku.



Hei friends… cukup ya cerpennya hari iniii… tQ…


Rabu, 29 November 2017

Semuanya

        Kebahagiaan yang hakiki berasal dari hasil mencintai Allah dengan tulus. Tidak ada yang pantas dicintai selain Allah, karena cinta adalah milik Allah. Siapa pun dan apa pun yang kamu cintai akan memberikan kebahagiaan yang hakiki melalui cinta Allah.

         Percayalah, kebahagiaanmu selalu berasal dari ridha-Nya. Semua kebahagiaan yang kamu rasakan adalah hasil dari permohonanmu pada Allah dalam doa atau permohonan orang tuamu pada Allah untukmu.

           Semuanya atas restu Allah.
Sedihmu dan bahagiamu, itu karena Allah.
Sadarilah, bahwa Allah pemilik semua yang kamu miliki, pengatur jalan hidupmu, pengabul semua doamu.
Sebab itu, syukurilah hidupmu apa pun itu.

Anonim 😊

Jumat, 01 September 2017

Punggung Rasa

         “Boleh aku bercerita?” setelah berbincang hebat dengan seorang Bos di perusahaan tempatku bekerja. Ngalor-bgidul gak ada tujuan kalo kata orang tua. Ku Tarik tangan rekan kerjaku dan menatapnya penuh harap. “Sok monggo atuh!” jawaban yang selalu terucap ketika aku menginginkan sesuatu darinya. Jawaban yang semakin membuatku menggebu-gebu untuk segera cepat menumpahkan segala yang ku pendam tanpa berpikir panjang walaupun sangat bersifat RAHASIA.

         “Teh, ada yang aneh sama hati ini, kayaknya hatiku belum mati Teh.” Tanpa ada jeda sedikitpun untuk Teteh memotong pembicaraanku.
Teteh hanya diam dan menatapku lekat-lekat, memegang dahiku dan meraba pergelangan tanganku mngukur suhu tubuh dan menghitung denyut nadiku. Aku merasa dipermainkan “Aduh teteh, ini kenapa?” solotku merasa tak dipedulikan. “Ih kamu mah aneh-aneh aja Neng. Mana ada tubuh hidup tapi hatinya mati.” Ha ha ha lagi-lagi humornya muncul disaat yang kurang tepat.

          “Teh, aku udah move on Teh. Ada sosok baru Teh, padahal Cuma punggungnya yang ku lihat dan  pemuda itu tak kukenal.” Aku menyambung curahan perasaanku. “Yakin kamu Neng, kok bisa.” Teteh tercengang. Hemmm, aku terus bercerita. Cerita yang membuat aku merasa terbang, terbang gak jelas dalam perasaan yang tak pernah terpikirkan oleh siapapun. “kapan lihatnya? di mana? Lagi ngapain? Ganteng gak? tinggi gak?” Mulailah teteh mengeluarkan bajibun pertanyaan, bingung harus jawab yang mana dulu. Simpel ajah kali ya jawabnya.

           Jujur, sebenarnya mata ini melihatnya satu tahun yang lalu. Saat itu aku tidak ingin meneruskan perasaan yang kuanggap hanya singgah sebentar lalu akan pergi begitu saja. Aku pun mengubur rasa dalam-dalam tanpa pernah menyiramnya apa lagi memupuknya. Aku takut rasa itu tumbuh dan berkembang menjadi rasa terlarang yang bersemayam di hati yang penuh luka ini. Tapi entah kenapa, rasa itu hadir dan entah kapan akan pergi lagi.  “Di halaman kantor kita Teh, waktu meeting bahas pembukaan cabang baru. Akhir-akhir ini, aku kepikiran terus Teh, terus lebih sering lihat punggung yang sama persis dengan yang aku lihat satu tahun lalu”.

        Kami hening, tanpa suara dan malah mulai asik dengan hanpone masing-masing. Kuotak-atik akun fb dan WA, terasa desiran darah mengalir begitu cepat diiringi gendering jantung yang berdegup. Mataku terbelalak lebar sampai mulutku ingin berteriak. “Loh kok, dia dekat ama Bos ya Teh? Liat Teh, punggung pemuda ini yang aku sukai.” Kusodorkan Hanponeku menunjuk wajah baru yang ada di akun Bos kami. “Ini mah satu bidang ama Teteh Neng, di bagian pemasaran. Tentulah kamu sering lihat punggungnya. Tapi siapa ya namanya?”

          Keheningan datang lagi. Bukanya dapat solusi malah jadi keduanya mikir, bertanya-tanya yang entah ditujukan pada siapa. Perbincangan berakhir tanpa ada penyelesaian yang berarti. Perayaan hari jadi perusahaan berlangsung. Kali ini agak kesel, dipisahkan tugas dengan Teteh. Aku diutus ke perusahaan pusat dan Teteh di perusahaan cabang 12.

          Berjalan gontai menuju ruangan acara. Langkah demi langkah seolah memendek, saat terhenti mata ini terbelalak lagi. “Ternyata sudah punya kekasih, syukurlah.” Gumamku lirih. Aku melihatnya asik ngobrol dengan mahasiswa yang sedang training di perusahaan. Ha ha ha ha, mungkin aku patah hati, melihat sosok yang pernah menggetarkan hati dan mendorong senyuman kini membuatku semakin malas untuk bekerja. Ingin aku bercerita pada rekan kerjaku yang lain, tapi tak mungkin hati ini percaya pada selain Teteh.

           Acara selesai, di kamar aku berusaha menahan diri dan pikiran. Menahan utuk jauh dari hanpone agar tidak terpenuhi nafsu rasa yang menginginkan kepuasan. Hari-hari terus berlalu, aku mencoba mengabaikan rasa itu, namun terlambat sangatlah terlambat. Mataku telah menangkap sosok itu dan meletakkannya dalam hati yang luka dan mulai mengobati alau memenuhi kekosongan itu.

          Tiba saat aku benar-benar tersiksa ingin mengetahui siapa dia. Dengan cepat kuperiksa contack hanpone dan mengirim sebuah foto dengan motion “Pak, siapa pemuda dalam lingkaran merah itu?” tanpa ada basa-basi dan rasa hormat yang terkalahkan dengan keinginan menggebu-gebu. Tidak langsung kudapatkan jawaban. Satu jam menunggu, “Oh, itu anak bimbingan saya waktu dia training dulu. Namanya Ahmad pembimbing perusahaan cabang 4 SM, orangnya baik, bertanggungjawab, soleh, tak play boy dan belum ada cewek yang serius.”

       Serasa dunia ini menghentikan waktunya, membuatku berteriak meledakkan rasa gundah. Bos memang paling ngerti maksud dan tujuan siapa pun tanpa harus menggunakan pertanyaan yang benar-benar mengarah pada maksud yang sebenarnya. “kemarin, dia baru dari rumah pakai selandang mahir.” Lanjutnya. Aku udah mulai tak peduli dengan penuturan bos. Aku malah jadi salh tingkah seolah-olah si Bos melihat wajahku yang merah macam kepiting rebus. “Oooo, pantesan familiar wajahnya. Terima kasih Pak itinfonya.” Hanya itu yang bisa saya tulis. “kalau kamu mau, nantik saya kenalkan. Tunggu aja, bentar lagi dia chat kamu.” Timpalnya.

         Aku benar-benar merasa malu, maksud dan tujuanku terbaca dan tertangkap dengan mudah oleh Pak Moyo. “Gak usah Pak, hanya ingin tahu namanya saja kok. Terima kasih lo ya Pak.” Ku letakkan hanpone dan ku tingal merapikan dan membersihkan tubuh. Benar saja, pukul sepuluh malam berbunyilah tanda pesan masuk. “P”, “P”,”P”,”P”, lebih dari lima kali, aku masih mengabaikannya. Teringatlah kata-kata terakhir Pak Moyo. Bergegas ku buka dan ku baca, tak butuh lama waktu yang kugunakan untuk mengenali pemilik nomor itu, sudah lekat betul wajahnya di hatiku Pak Ahmad.

          “Pak, maaf. Pasti Pak Moyo yang paksa Bapak. Maaf banget pak.” Aku salah tingkah lagi, aku senyum sendiri dan menutup wajah tanpa henti. “yaaa ampuuuunn, kudu ngapain aku.” Bergumam tak tentu menghayal yang tak mungkin terjadi. “iya gak apa-apa, dipaksa si enggak. Cuman ada yang tanya katanya tadi.” Jawaban yang membuat aku putus asa. Cuek banget, tepat seperti dugaanku. “Gimana Ami, udah chat kamu apa belum si Ahmad. Bapak seneng kalo anak asuh bapak berteman akrab lebih seng lagi kalo jadi pasangan. Aamiin.” Itu sebuah puisi hebat yang menggoncangkan dunia pada akhir percakapan kami, berfikir bahwa dukungan udah mulai datang.

          Waktu terus berlalu, semakin sering Mengganggu pak Ahmad. Sampai-sampai beliau merasa tidak pantas dipanggil bapak. Akhirnya kami sepakat menggunakan nama masing-masing sebagai panggilan akrab. “Teh, aku udah tau siapa dia Teh.” Aku semakin sering bercerita tentang Ahmad pada Teteh, sampai-sampai Teteh dan suaminya mendukung, walau pun si Aa masih belum percaya kalau aku udah move on.

      Hari ini, aku mengungkap dan mengakui perasaanku pada sosok baru yang tak tahu tentang ini. Perasaan yang entah sampai akapan akan bersemayam. Perasaan yang bisa jadi hanya bertepuk sebelah tangan saja. Ahmad…… satu nama baru yang mulai Aku selipkan dalam sujud malamku ketika bermuhasabah dengan Allah.

Aku Bisa Apa

Rasa entah ap yg mengusik dada. Sesaat ada lalu pergi dan kembali. Entah sekedar singgah atau menetap selamanya.

Saat pertama melihatnya rasa itu ada. Lalu aku mencoba abaikan itu semua. Namun, tak terduga sangat tak kusangka. Rasa ini kembali ada.

Awalnya hanya ingin tau nama, tak ingin menumbuhkan atau mengembangkan rasa ini. Ternyata hati tak mampu mengendalikan dan asik membohongi diri. Mencibir bahwa bahagia itu ada dalam dirinya.

Semoga Allah menegurku saat rasa ini benar-benar terlarang untuk kumiliki. Menegurku sebelum aku pertaruhkan hidupku lagi. Aku takut terulang kedua kali. Allah cemburu dan murka padaku lalu mematahkan hatiku lagi.

Cukuplah Bagiku memiliki rasa ini tanpa ada yang tahu. Cukuplah bagiku, dari jauh memandang punggungmu. Itu sedikit melegakan.

Apa nama rasa ini? Entahlah, yang jelas aku ingin tetap diam memilikinya, walau berharap hadirlah dalam hidupku. ☺

Senin, 14 Agustus 2017

I Look To You by Whitney Houston

As I lay me down
Saat kuberbaring
Heaven hear me now
Surga dengarkanlah aku
I'm lost without a cause
Aku tersesat tanpa sebab
After giving it my all
Setelah kuberikan segalanya

Winter storms have come
Badai musim dingin tlah datang
And darkened my sun
Dan menghalangi mentariku
After all that I've been through
Setelah semua yang kulewati
Who on earth can I turn to
Pada siapa lagi aku berpaling

CHORUS
I look to you
Aku mengadu pada-Mu
I look to you
Aku mengadu pada-Mu
After all my strength is gone
Setelah habis dayaku 
In you I can be strong
Di dalam naungan-Mu aku kuat
I look to you
Aku mengadu pada-Mu
I look to you
Aku mengadu pada-Mu
Yeah
And when melodies are gone
Dan saat irama hilang
In you I hear a song
Di dalam naungan-Mu kudengar sebuah lagu
I look to you
Aku mengadu pada-Mu

After losing my breath
Setelah berhenti nafasku
There's no more fighting left
Tak perlu lagi berjuang

Sinking to rise no more
Tenggelam dan tak lagi bangkit
Searching for that open door
Mencari pintu yang terbuka

And every road that I've taken
Dan setiap jalan yang pernah kulewati
Lead to my regret
Menuntun pada penyesalanku
And I don't know if I'm gonna make it
Dan aku tak tahu apakah aku kan temukan pintu itu
Nothing to do but lift my head
Tak ada yang bisa kulakukan selain mendongakkan kepala

CHORUS

(my levees have broken, my walls have come)
(Tanggulku tlah runtuh, dindingku tlah datang)
Coming down on me
Menimpaku padaku
(crumbling down on me)
(Menimpaku)
All the rain is falling
Hujan turun deras
(the rain is falling, defeat is calling)
(Hujan turun deras, kekalahan memanggil)
Set me free
Bebaskan aku
(I need you to set me free)
(Kubutuh Engkau tuk bebaskanku)
Take me far away from the battle
Bawa aku jauhi pertempuran ini
I need you
Aku butuh Engkau
Shine on me
Sinarilah aku

CHORUS

yeah

I look to you
Aku mengadu pada-Mu
oooooooh
I look to you
Aku mengadu pada-MU